aku

aku

Rabu, 04 Februari 2009

white collar crime (korupsi)

Dua minggu lalu di mata kuliah patologi sosial, kami membahas tentang masalah kejahatan dan kriminalitas. Disalah satu klasifikasi kejahatan tersebut disebutkan kejahatan yang dilakukan oleh oknum, contohnya adalah koruptor. Semenjak itu saya tertarik untuk membahas tentang korupsi. Yuk,,kupas tuntas tentang korupsi/white collar crime (kalo temen-temen ngerasa Q lom bahas dengan tuntas, silahkan menambahkan).

‘White collar crime’ sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari bahkan mungkin sudah bosen kita mendengar dan membahasnya. Pelakunya yang biasa kita sebut dengan koruptor atau tikus yang suka menggerogoti sesuatu yang bukan menjadi haknya mungkin saat ini berkeliaran bebas menggunakan uang haramnya itu buat bersenang-senang. Yah..biarkanlah mereka berkreasi dan tunggu saja KPK akan menangkap kalian!!!!

Aku kadang berpikir, gimana seandainya aku berada pada posisi koruptor tersebut atau berada dalam bagian kehidupan mereka (keluarganya). Apa ya yang sebenarnya mereka rasakan saat mereka ketahuan melakukan tindak korupsi atau bagaiman perasaan keluarganya?.

Kadang aku berpikir, para koruptor itu adalah orang-orang pintar bahkan mereka lulusan sekolah yang berkualitas sampai keluar negeri, seharusnya mereka tahu konsekuensi yang didapatkan dari perilaku korupsi dan bagaimana dampaknya. Lalu, kenapa hal itu masih tetap saja dilakukan?. Apakah mereka mengerti tapi pura-pura bodoh karena mata, pikiran dan akal sehat mereka tertutupi oleh uang yang melimpah?.

Tentang keluarganya, apakah mereka tahu kalau ayah atau keluarganya melakukan korupsi?. Apa yang mereka lakkukan jika tahu?. Membiarkannya selama polisi atau KPK tidak menangkap mereka?.

Suatu ketika aku pernah melihat acara TV yang mengungkap korupsi yang dilakukan oleh Artalita. Di acara tersebut ditayangkan persidangan artalita. Bayangin 6 milyar diberikan pada Urip dan katanya lagi itu belum termasuk bonus. Yang paling menyebalkan adalah saat Artalita membela diri dengan mengatakan "kalau saya masuk penjara, bagaimana nasib anak saya?". Ya ampun buk.. baru ingat nasib anakmu sekarang?. Dulu waktu korupsi, kemana ingatan tentang nasib anakmu, ibu simpen ke bawah kolong kasur?. Pembelaan yang gak masuk akal!!!.

Aku juga pernah berpikir (dari tadi pakek kata berpikir mulu ya, he..), apakah para koruptor itu sudah tau dampak dari korupsi pada dirinya dan keluarganya?, sehingga mereka melakukan rencana-rencana buat mengantisipasinya (toh mereka semua orang ‘pintar menipu’), misalnya dengan menimbun uang hasil korupsi di bank-bank luar negeri (yang popular di Swiss) trus kalo mereka ditangkep, mereka nyogok aparat pakek uang yang dibank luar negeri itu. Buat melindungi keluarganya, mereka memindahkan keluarganya ke luar negeri pake uang korupsi itu, so mereka gak akan mendapat gunjingan di Indonesia. Bener gak sie?

Tapi aq juga berpikir (pakek berpikir lagi ^^), mungkin lingkungan sangat kuat pengaruhnya membentuk perilaku korupsi. Aku pernah merenung, mungkin saja koruptor itu adalah seorang aktivis anti korupsi yang rajin menggembar-gemborkan anti-korupsi, melakukan unjuk rasa menentang korupsi, menuntut koruptor dihukum seberat-beratnya serta memiliki nasionalisme yang tinggi. Akan tetapi ketika mereka mendapat kesempatan untuk menjadi anggota dewan misalnya, idealisme dan nasionalisme mereka langsung luntur karena lingkungan yang mereka diami merupkan tempat yang subur buat tumbuhnya korupsi. Mungkin saja proses belajar sosial terjadi disana. Orang ini yang awalnya adalah seorang yang memiliki idealisme anti korupsi mulai belajar bahwa dengan melakukan korupsi dia akan mendapat keuntungan yang g sedikit sehingga kehidupannya akn menjadi lebih baik. Atau mungkin saja dia mendapat pengaruh dari organisasi (partai) tempat dia bergabung untuk melakukan korupsi berjamaah.

Sekarang kita mulai membahas tentang penyebab korupsi. Apa pengertian korupsi?. Apa yang membuat orang menjadi koruptor?

Korupsi

(bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur:
  • Perbuatan melawan hukum
  • Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana
  • Memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi
  • Merugikan perekonomian Negara atau keuangan Negara
  • Memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan)
  • Penggelapan dalam jabatan
  • Pemerasan dalam jabatan
  • Menerima gratifikasi

Penyebab korupsi dibawah ini diungkapkan oleh beberapa ahli yaitu:

Menurut Dr. Sarlito W. Sarwono

, tidak ada jawaban yang persis, tetapi ada dua hal yang jelas, yakni :

1. Dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak dan sebagainya),

2. Rangsangan dari luar (dorongan teman-teman, adanya kesempatan, kurang control dan sebagainya

Dr. Andi Hamzah dalam disertasinya menginventarisasikan beberapa penyebab korupsi

, yakni :

1. Kurangnya gaji pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin meningkat

2. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi

3. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien, yang memberikan peluang orang untuk korupsi.

4. Modernisasi pengembangbiakan korupsi

Analisa yang lebih detil lagi tentang penyebab korupsi diutarakan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam bukunya berjudul "Strategi Pemberantasan Korupsi

," antara lain :

1. Aspek Individu Pelaku

a. Sifat tamak manusia

Kemungkinan orang melakukan korupsi bukan karena orangnya miskin atau penghasilan tak cukup. Kemungkinan orang tersebut sudah cukup kaya, tetapi masih punya hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus.

b. Moral yang kurang kuat

Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahanya, atau pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.

c. Penghasilan yang kurang mencukupi

Penghasilan seorang pegawai dari suatu pekerjaan selayaknya memenuhi kebutuhan hidup yang wajar. Bila hal itu tidak terjadi maka seseorang akan berusaha memenuhinya dengan berbagai cara. Tetapi bila segala upaya dilakukan ternyata sulit didapatkan, keadaan semacam ini yang akan memberi peluang besar untuk melakukan tindak korupsi, baik itu korupsi waktu, tenaga, pikiran dalam arti semua curahan peluang itu untuk keperluan di luar pekerjaan yang seharusnya.

d. Kebutuhan hidup yang mendesak

Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan korupsi.

e. Gaya hidup yang konsumtif

Kehidupan di kota-kota besar acapkali mendoronggaya hidup seseong konsumtif. Perilaku konsumtif semacam ini bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi.

f. Malas atau tidak mau kerja

Sebagian orang ingin mendapatkan hasil dari sebuah pekerjaan tanpa keluar keringat alias malas bekerja. Sifat semacam ini akan potensial melakukan tindakan apapun dengan cara-cara mudah dan cepat, diantaranya melakukan korupsi.

g. Ajaran agama yang kurang diterapkan

Indonesia dikenal sebagai bangsa religius yang tentu akan melarang tindak korupsi dalam bentuk apapun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bila korupsi masih berjalan subur di tengah masyarakat. Situasi paradok ini menandakan bahwa ajaran agama kurang diterapkan dalam kehidupan.

2. Aspek Organisasi

a. Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan

Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal mempunyai pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya.

b. Tidak adanya kultur organisasi yang benar

Kultur organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan negatif, seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi.

c. Sistim akuntabilitas yang benar di instansi pemerintah yang kurang memadai

Pada institusi pemerintahan umumnya belum merumuskan dengan jelas visi dan misi yang diembannya dan juga belum merumuskan dengan tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam periode tertentu guna mencapai misi tersebut. Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai sasaranya atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi.

d. Kelemahan sistim pengendalian manajemen

Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.

e. Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi

Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk.

3. Aspek Tempat Individu dan Organisasi Berada

1. Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini seringkali membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan itu didapatkan.

2. Masyarakat kurang menyadari sebagai korban utama korupsi Masyarakat masih kurang menyadari bila yang paling dirugikan dalam korupsi itu masyarakat. Anggapan masyarakat umum yang rugi oleh korupsi itu adalah negara. Padahal bila negara rugi, yang rugi adalah masyarakat juga karena proses anggaran pembangunan bisa berkurang karena dikorupsi.

3. Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi Setiap korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat. Hal ini kurang disadari oleh masyarakat sendiri. Bahkan seringkali masyarakat sudah terbiasa terlibat pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari.

4. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan diberantas bila masyarakat ikut aktif Pada umumnya masyarakat berpandangan masalah korupsi itu tanggung jawab pemerintah. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi itu bisa diberantas hanya bila masyarakat ikut melakukannya.

Dampak dari korupsi adalah:

Nye menyatakan bahwa akibat-akibat korupsi adalah :

1. Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.

2. ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya.

3. pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.

Selanjutnya Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa akibat korupsi adalah ketidakefisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan untuk berusaha terutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif.

Upaya Penanggulangan Korupsi

Caiden (dalam Soerjono, 1980) memberikan langkah-langkah untuk menanggulangi

korupsi sebagai berikut :

a. Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan sejumlah

pembayaran tertentu.

b. Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.

c. Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah pengawasan dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan, wewenang yang saling tindih organisasi yang sama, birokrasi yang saling bersaing, dan penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran yang secara jelas diketemukan untuk mengurangi kesempatan korupsi.

d. Bagaimana dorongan untuk korupsi dapat dikurangi ? dengan jalan meningkatkan ancaman.

e. Korupsi adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak mungkin keseluruhan korupsi dibatasi, tetapi memang harus ditekan seminimum mungkin, agar beban korupsi organisasional maupun korupsi sestimik tidak terlalu besar sekiranya ada sesuatu pembaharuan struktural, barangkali mungkin untuk mengurangi kesempatan dan dorongan untuk korupsi dengan adanya perubahan organisasi.

Selanjutnya, Myrdal (dalam Lubis, 1987) memberi saran penaggulangan korupsi yaitu:

  1. pengaturan dan prosedur untuk keputusan-keputusan
  2. administratif yang menyangkut orang perorangan dan perusahaan lebih disederhanakan dan dipertegas
  3. pengadakan pengawasan yang lebih keras,
  4. kebijaksanaan pribadi dalam menjalankan kekuasaan hendaknya dikurangi sejauh mungkin
  5. gaji pegawai yang rendah harus dinaikkan dan kedudukan sosial ekonominya diperbaiki, lebih terjamin
  6. satuan-satuan pengamanan termasuk polisi harus diperkuat
  7. hukum pidana dan hukum atas pejabat-pejabat yang korupsi dapat lebih cepat diambil. Orang-orang yang menyogok pejabat-pejabat harus ditindak pula.

Kartono (1983) menyarankan penanggulangan korupsi sebagai berikut :

1. Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh.

2. Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional.

3. para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi.

4. Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak korupsi.

5. Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan jumlah departemen, beserta jawatan dibawahnya.

6. Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan "achievement" dan bukan berdasarkan sistem "ascription".

7. Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi pemerintah.

8. Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur

9. Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien.

10. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan pengenaan pajak yang tinggi.

Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa upaya penanggulangan korupsi adalah sebagai berikut :

a. Preventif.

1. Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansi pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan atau milik negara.

2. mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling menegakan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.

3. Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada masyarakat dan negara.

4. Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan.

5. menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk kontrol, koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung disalahgunakan.

6. hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan "sense of belongingness" dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa peruasahaan tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu berusaha berbuat yang terbaik.

b. Represif.

1. Perlu penayangan wajah koruptor di televisi.

2. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan pejabat.

Apakah korupsi dapat terhapus ditengah budaya materialistic dan individualistic semakin berkembang?. Hanya tiap individu yang bisa menjawabnya. Semuanya tergantung individu masing-masing dalam menyikapi hidup. Semoga korupsi akan semakin berkurang di Indonesia. Maju Bangsaku, Maju Indonesiaku

Tidak ada komentar: