aku

aku

Rabu, 04 Februari 2009

ketimpangan gender dalam perselingkuhan melahirkan prostitusi terbuka

Gender merupakan pembedaan peran, hak dan kewajiban, kuasa dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. sosial (Irianto, 2007). Didunia ini banyak sekali kita temui ketidaksetaraan gender yang juga banyak diperbincangkan dan diperjuangkan oleh gerakan feminis. Ketidakadilan atas gender banyak sekali dialami oleh perempuan. Dalam hal ini perempuan yang dianggap sebagai second class dirugikan dalam segala aspek, diantaranya dalam hal psikologis dan fisik (seringnya mengalami tindak kekersan / violence), subordinasi pada perempuan serta adanya marjinalisasi perempuan dalam ekonomi dan pendidikan.

Ketidasetaraan gender seringkali ditemukan dalam keluarga misalnya adanya penindasan psikologis yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan. Penindasan ini sering dinamakan perselingkuhan. Contoh kasus yang diambil dari artikel adalah kasus seorang perempuan, istri anggota DPRRI yang dengan tegar mensupport suami yang jelas-jelas melakukan perselingkuhan. Nampak sekali adanya ketidakadilan di sini. Laki-laki dengan seenaknya berbuat salah, sementara si perempuan dengan segala kelemahannya, dengan alasan keutuhan keluarga, kasihan anak-anak dan lain-lain tetap menerima adanya penindasan batin dari laki-laki.

Ketidakadilan gender yang dialami perempuan adalah perempuan dikungkung untuk menerima perselingkuhan suaminya walaupun itu menyakitkan hatinya. Budaya pun tidak terlalu mempermasalahkan perilaku laku semena-mena laki-laki tersebut. Dibawah ini adlah deskripsi masyarakat Jawa tentang toleransi terhadap alasan laki-laki melakukan perselingkuhan:

Di masyarakat Jawa, terdapat penerimaan atau bahkan toleransi terhadap ketidakmampuan laki laki dalam mengontrol nafsu seks mereka. Karena laki laki seringkali dianggap tidak mampu menahan hasrat seks mereka, banyak perempuan mentoleransi dan bahkan mengharapkan pada derajat tertentu ‘ketidaksetiaan’ dari suami, meskipun mereka juga tidak mendorongnya (Brenner 1998). Karena laki laki dianggap tidak bisa mengontrol nafsu mereka, maka ada anggapan bahwa jika tidak terlampiaskan, ini akan mengakibatkan perkosaan atau pelecehan seksual yang membawa korban perempuan baik baik. Hal ini membuat banyak laki laki dan perempuan suku Jawa menyimpulkan bahwa Pekerja Seks Komersial (PSK) tetap dibutuhkan sebagai pelampiasan (Crisovan, 2006). Temuan serupa juga dinyatakan oleh Geertz pada tahun 1950an, yang menyatakan bahwa istri toleran terhadap lepas tangan suami karena laki laki memang dianggap mempunyai sifat tak punya tanggung jawab. Perselingkuhan seksual mereka disebut ‘nakal’; sama istilahnya seperti seorang anak yang tidak menurut kata orang tua, tanpa adanya konotasi pelanggaran; dan mereka diharapkan nakal selama kuliah dan bahkan setelah menikah (Geertz, 1961 cit. Crisovan, 2006). Menurut budaya Jawa, nafsu seks harus senantiasa terjaga dalam keseimbangan, sehingga pada saat istri mengalami menstruasi/hamil, laki laki akan memelihara nafsu seks mereka dengan PSK. Ini juga dipercaya mempunyai efek pada potensi spiritual laki laki (Crisovan, 2006).

Dari kutipan diatas tampak sekali ketidaksetaraan gender, laki-laki berhak bertindak sesuka hati dan menyakiti perempuan, sementara perempuan diharuskan untuk toleran, nerima apapun yang diperlukan tas penindasan terhadap dirinya. Hal yang lebih buruk daripa itu adalah muncullah prostitusi terbuka. Laki-laki dengan seenak hati bahkan tampak terang-terang-terangan datang ke tempat pelacuran kadang tanpa rasa malu bahkan merekamnya dalam video yang sering dilakukan oleh public figure.

Sekarang kita akan menganalis mengapa prostitusi terbuka seperti di Dolly Surabaya merupakan prostitusi yang pelakunya (pelacurnya) adalah perempuan?. Dan mengapa prelacuran pria saat ini masih terkesan tersembunyi?. Jawaban atas pertanyaan tersebut karena seakan-akan ada “legalisasi” perselingkuhan laki-laki baik lewat prostitusi ataupun tidak. Sekan-akan perselingkuhan yang dilakukan laki-laki tu adalah sesuatu yang wajar terjadi karena laki-laki tidak dapat menahan hasrat seksualnya. Lalu bagaimana dengan wanita?. Sebagian wanita juga ada yang menjadi pengguna jasa prostitusi yang dikenal dengan “tante girang suka brondong”, tetapi tetap saja hal itu terselubung. Hal tersebut terjadi karena akan ada kecaman keras yang akan dialamatkan pada perempuan tersebut apabila perilakunya itu diketahui karena perempuan harus setia, nurut semua perintah suaminya.

Kesimpulannya, ketidakadilan gender dalam isu perselingkuhan ini adalah ada pada tindakan semena-mena laki-laki dengan menyakiti perempuan secara psikologis serta pada budaya yang mentoleransi tindakan laki-laki yang melakukan perselingkuhan tersebut. Perselingkuhan ini menyebabkan permasalahan lainnya yaitu prostitusi yang dilakukan secara terbuka yang manaketidaksetaraan gender terlihat jelas karena hanya prostitusi yang pelacurnya perempuan saja yang diekspos


    Akibat ketidaksetaraan gender

    • Tekanan bathin (terjadi kekerasan psikologis) pada perempuan yang suaminya selingkuh

    • Adanya subordinasi yang dialami perempuan karena perempuan merasa tidak dihargai sebagi manusia karena laki-laki dengan seenak hatinya melakukan selingkuh

    • Timbulnya prostitusi yang dilakukan oleh pelacur wanita secara terbuka tanpa adanya sanksi hkum yang berat

    • Psostitusi tetap exist selama ketidaksetaraan gender ini terus berlangsung karena dalam budaya pun (jawa) membolehkan hal itu.

    • Penyebaran HIV AIDS dalam keluarga karena aktivitas perselingkuhan laki-laki.

    Cara mengatasi

    • Adanya kesetaraan gender dalam keluarga dengan adanya persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan.

    • Adanya toleransi antara laki-laki dan perempuan, tetapi dalam hal ini bukanlah toleransi dalm penyetujuan istri atas perilaku perselingkuhan suami. Toleransi tersebut dengan menghormati perasaan istri dan aspek-aspek psikologi perempuan dengan tidak melakukan penindasan batin (perselingkuhan)

    • Larangan perselingkuhan laki-laki dengan alasan apapun (baik dari segi budaya dan sosial) baik yang terang-terangan maupun tersembunyi.

    • Adanya saling pengertian antara hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan sehinggga komunikasi berjalan lancar dan perselingkuhan tidak akan terjadi. Tidak ada perbedaan tingkat status antara perempuan dan laki-laki dalam keluarga.


    Hasil apabila terjadi kesetaraan gender

    • Dampak positif

        1. Lahirnya toleransi antara laki-laki pada perempuan, sehingga penindasan psikologis tidak akan terjadi

        2. Penyebaran HIV AIDS tidak akan masuk dalam keluarga.

        3. Lahirnya komunikasi yang baik dalam keluarga karena laki-laki dan perempuan punya hak yang sama dalam keluarga.

    • Dampak negatif

        1. Akan banyak sekali perceraian, karena perempuan mulai sadar atas ketidakadilan tersebut dan menuntut untuk berpisah

        2. Akibat dari banyaknya perceraian, anak-anak keluaran broken home akan bertambah


Daftar Pustaka

BAPPENAS. Gender dalam Pertanian. (online) (http://www.blog archieve. Gender dalam pertanian. diakses 17 Oktober 2008)

Deniem. Analisis Gender. (online) (http://www.analisis gender-arena pembelajaran diri. diakses 17 Oktober 2008)

Dznhayatin, Siti R. Demokratisasi dan Masalah Kesetaraan Gender. (online) (http//www. artikel Indonesia untuk demokrasi. diakses 17 Oktober 2008)

Hermawati, Tanti. Budaya Jawa dan Kesetaraan Gender. (online) (http//www. goggle.com. Jurnal Komunikasi Massa. Vol. 1, No. 1, Juli 2007, 25-34 diakses 17 Oktober 2008)

Tanai, Susilowati, M. Gender dan Seksualitas dalam fenomena global epidemi HIV/AIDS

. (online) (http://www.Makalah%20Susilowati%20Rev_d01c/ PDF/gender dan seksualitas.pdf, diakses 17 Oktober 2008)

Sholihah, Nikmatus. Gender dan Jenis Kelamin. (online) (http//www.gogle.com. diakses 17 Oktober 2008)

Tidak ada komentar: