aku

aku

Rabu, 17 Desember 2008

Shopaholic

X adalah seseorang yang selalu tidak dapat menahan diri untuk berbelanja baju dan sepatu ketika memiliki uang padahal baju dan sepatunya sudah banyak, meskipun X tahu kalau uang itu untuk membayar kuliahnya. X tetap membelanjakan uang tersebut. Namun, setelah selesai berbelanja dan menghabiskan uangnya, X menyesal kenapa dirinya tidak mampu untuk menahan keinginannya untuk berbelanja. X merasa tersiksa dengan perilaku belanjanya ini. Selain itu, X selalu mempersepsi orang lain berdasarkan banyaknya kepemilikan harta karena baginya, orang lain akan menghormati dan menghargai jika dirinya memiliki banyak barang.
Pada saat ini, di kota-kota besar banyak didirikan mall yang menawarkan berbagai produk-produk fashion terbaru. Hal ini akhirnya, membuat sebagian besar masyarakat sering berkunjung ke mall, apalagi bagi orang-orang yang tidak mampu menahan keinginannya untuk berbelanja. Sebelumnya, saya ingin bertanya pada Anda "Mengapa Anda membeli begitu banyak pasang sepatu dan baju namun tidak mengenakannya? Apa Anda akan mengatakan bahwa sepatu dan baju itu tampak begitu menarik tetapi sesudah membeilnya, Anda merasa kurang menyukainya?"

Apakah Anda termasuk orang yang tidak mampu menahan keinginan untuk berbelanja meskipun Anda sebenarnya tidak terlalu membutuhkan barang-barang tersebut? Apabila Anda membuka almari pakaian dan sepatu Anda maka akan Anda akan dihadapkan pada setumpuk pakaian dan sepatu dengan berbagai merek. Mungkin seringkali Anda termasuk orang yang mudah terjebak oleh keinginan Anda sendiri untuk mengkonsumsi produk-produk fashion terbaru agar tidak ketinggalan tren yang berlaku. Apalagi, pada saat ini konsumerisme dan gaya hidup hedonis telah menjamur dimana-mana sehingga menyebabkan sebagian besar orang berlomba-lomba mengumpulkan barang-barang sebanyak-banyaknya hanya karena ingin dihormati, dihargai dan agar terlihat percaya diri. Padahal kenyataannya, produk-produk fashion yang ditawarkan selalu berubah-ubah modenya sehingga Anda akan merasa tidak puas dengan apa yang Anda miliki sehingga hal ini dapat membuat Anda terjebak dalam shopaholic. Perlu diketahui, shopaholic ini dapat membahayakan keselamatan diri sendiri dan orang lain karena dapat mengakibatkan seseorang bunuh diri dan melakukan tindak kriminalitas. Oleh karena itu, masalah shopaholic harus ditangani secara serius.
Definisi Shopaholic
Apa shopaholic itu? Shopaholic berasal dari kata shop yang artinya belanja dan aholic yang artinya suatu ketergantungan yang disadari ataupun tidak. Menurut Oxford Expans (dalam Rizka, 2008) dikemukakan bahwa shopaholic adalah seseorang yang tidak mampu menahan keinginannya untuk berbelanja dan berbelanja sehingga menghabiskan begitu banyak waktu dan uang untuk berbelanja meskipun barang-barang yang dibelinya tidak selalu ia butuhkan. Mungkin muncul pertanyaan dihati Anda, bagaimana gejala-gejala seseorang yang mengalami shopaholic?
Gejala-gejala Shopaholic
Perlu diketahui bahwa tidak semua orang yang suka berbelanja atau pergi ke mall dapat dikatakan shopaholic. Menurut Klinik Servo (2007), seseorang dapat dikatakan mengalami shopaholic jika menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut:
· Suka menghabiskan uang untuk membeli barang yang tidak dimiliki meskipun barang tersebut tidak selalu berguna bagi dirinya.
· Merasa puas pada saat dirinya dapat membeli apa saja yang diinginkannya, namun setelah selesai berbelanja maka dirinya merasa bersalah dan tertekan dengan apa yang telah dilakukannya.
· Pada saat merasa stres, maka akan selalu berbelanja untuk meredakan stresnya tersebut.
· Memiliki banyak barang-barang seperti baju, sepatu atau barang-barang elektronik, dll yang tidak terhitung jumlahnya, namun tidak pernah digunakan.
· Selalu tidak mampu mengontrol diri ketika berbelanja.
· Merasa terganggu dengan kebiasaan belanja yang dilakukannya.
· Tetap tidak mampu menahan diri untuk berbelanja meskipun dirinya sedang bingung memikirkan hutang-hutangnya.
· Sering berbohong pada orang lain tentang uang yang telah dihabiskannya.
Setelah Anda mengetahui gejala-gejala shopaholic maka Anda dapat mulai mencermati diri Anda sendiri atau keluarga atau rekan dekat Anda apakah telah menderita shopaholic atau tidak. Mungkin muncul pertanyaan dihati Anda, apa dampak dari shopaholic?
Dampak Shopaholic
Shopaholic dapat mengakibatkan berbagai dampak yang merugikan yaitu:
· Sering mengalami kehabisan uang padahal masih awal bulan.
· Dapat mengakibatkan seseorang memiliki hutang dalam jumlah yang besar karena untuk memenuhi pikiran-pikiran obsesi untuk berbelanja dan berbelanja.
· Dapat mengakibatkan seseorang dipecat dari pekerjaannya karena melakukan pemborosan dengan menggunakan uang perusahaan.
· Memicu seseorang untuk melakukan tindak kriminal (seperti mencuri, memeras,korupsi dll) hanya karena ingin mendapatkan uang demi memnuhi dorongan untuk belanja yang terus-menerus dalam dirinya.
· Dapat mengakibatkan perceraian karena pasangan dari si penderita shopaholic merasa tersiksa dengan uang yang selalu dihabiskan pasangannya hanya untuk berbelanja dan berbelanja.
· Dapat mengakibatkan pertengkaran karena pemborosan yang dilakukan oleh penderita shopaholic.
· Dapat mengakibatkan seseorang bunuh diri karena dalam dirinya selalu muncul pikiran-pikiran obsesi untuk berbelanja dan berbelanja dan si penderita merasa tersiksa jika tidak melakukan pikiran-pikiran obsesinya tersebut.
Dampak dari shopaholic memang sangat merugikan bagi kehidupan seseorang bahkan dapat mengancam keselamatan dirinya sendiri dan orang lain. Apakah hanya perempuan saja yang mengalami shopaholic, karena perempuan sering dijuluki kaum yang suka shopping?
Siapa yang berpotensi mengalami Shopaholic?
Menurut penelitian dikemukakan bahwa 90% penderita shopaholic adalah perempuan, namun laki-laki juga mengalami shopaholic. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Stanford University mengatakan bahwa laki-laki juga mengalami shopaholic. Dengan demikian, perempuan dan laki-laki dapat menderita shopaholic. Barang-barang apa saja yang sering dibeli oleh perempuan dan laki-laki yang mengalami shopaholic? Perempuan yang mengalami shopaholic akan lebih suka untuk membeli pakaian, make-up, perhiasan, sedangkan laki-laki akan lebih suka membeli barang elektronik seperti HP, MP3 Player, dll (www.rasensi,nl).
Penyebab Shopaholic
Mungkin saat ini, Anda sedang bertanya-tanya apa penyebab seseorang mengalami shopaholic? Menurut Klinikservo (2007), ada beberapa penyebab seseorang mengalami shopaholic, yaitu:
· Seseorang menganut gaya hidup hedonis (materialis) dan mempersepsi bahwa manusia adalah human having. Human having adalah seseorang yang cenderung mempersepsi orang lain berdasarkan apa yang dimiliki (seperti punya mobil, rumah, jabatan). Human having ini akan mengakibatkan seseorang merasa terus kekurangan, selalu diliputi kecemasan, tidak akan termotivasi untuk mengejar kebutuhan pada tingkat yang lebih.
· Kecemasan yang berlebihan karena mengalami trauma di masa lalu.
· Iklan-iklan yang ditampilkan diberbagai media yang menggambarkan bahwa pola hidup konsumtif dan hedonis merupakan sarana untuk melepaskan diri dari stres.
· Adanya pikiran-pikiran obsesi yang tidak rasional
Apakah shopaholic merupakan salah satu bentuk gangguan psikologis? Shopaholic merupakan salah satu bentuk dari gangguan obsesi kompulsif. Apa definisi dan penyebab terjadinya gangguan obsesi kompulsif? Untuk lebih jelasnya, simaklah uraian singkat tentang gangguan obsesi kompulsif
Apa gangguan obsesif kompulsif itu?
Gangguan obsesif kompulsif adalah suatu gangguan psikologis yang ditandai dengan adanya pikiran-pikiran obsesif (pikiran-pikiran yang selalu berulang-ulang menghantui seseorang untuk melakukan suatu perilaku tertentu) dan adanya perilaku kompulsif (perilaku yang selalu dilakukan berulang-ulang, tetapi jika tidak dilakukan maka seseorang akan merasa tersiksa). Penderita obsesi kompulsif sebenarnya merasakan bahwa apa yang dilakukannya tidak rasional namun dirinya tidak mampu mengontrol kebiasaan yang dilakukannya tersebut. Apa saja gejala-gejala seseorang yang mengalami gangguan obsesif kompulsif?
Gejala-gejala Gangguan Obsesi Kompulsif
Menurut e-media (2007), seseorang yang mengalami gangguan obsesif kompulsif akan menunjukkan beberapa gejala-gejala yaitu merasa tertekan oleh pikiran-pikiran obsesi yang muncul dari dalam dirinya, melakukan perilaku kompulsif secara berulang-ulang untuk meredakan rasa tidak nyaman yang dirasakannya, selalu merasa cemas, dll.
Solusi Mengatasi Shopaholic
Shopaholic dapat diatasi dengan CBT (Cognitive Behavioral Therapy) dan terapi relaksasi. CBT akan membantu penderita untuk mengatasi pikiran dan perilakunya yang tidak rasional dan mencegah penderita untuk melakukan kebiasaan belanja secara terus-menerus. Selain itu, terapi relaksasi berguna untuk membantu mengurangi kecemasan dan membantu penderita untuk rileks dalam menghadapi pikiran-pikiran obsesinya yang muncul. Penderita Shopaholic juga perlu dilatih untuk membedakan antara keinginan dan kebutuhan sehingga hal dapat mulai mengontrol kebisaan belanjanya yang tidak rasional.
Solusi Untuk Mencegah Seseorang Menderita Shopaholic
Agar Anda tidak mengalami Shopaholic maka sebaiknya sesegera mungkin Anda mengontrol diri Anda pada saat berbelanja dan mengatasi stres dengan cara yang positif. Anda dapat melakukan perencanaan pengeluaran Anda ketika akan pergi ke mall sehingga hal dapat mengontrol perilaku belanja Anda yang tidak terkontrol. Namun, Anda juga harus komitmen hanya membeli barang yang benar-benar Anda butuhkan bukan karena godaan sesaat. Selain itu, Anda perlu pembukukan pengeluaran-pengeluaran yang telah Anda lakukan dan mencatat barang-barang kebutuhan pokok apa saja yang memang perlu untuk dibeli sehingga Anda dapat mengontrol perilaku belanja.
Jika Anda merasa bahwa diri Anda mengalami gangguan obsesi kompulsif, sebaiknya Anda mencari tahu, apa akar masalah yang menyebabkan Anda kain hari kian gelisah, resah, cemas, tidak bisa tenang, dsb. Sebab, obsesif kompulsif itu merupakan tanda dari adanya masalah yang tidak selesai, atau dihadapi dengan cara yang keliru, sehingga menambah persoalan baru. Setiap orang pasti bisa tahu apa masalahnya, kalau mau jujur pada diri sendiri. Tapi, memang tidak mudah untuk mau berhadapan dengan kenyataan diri. Kalau pun tidak bisa mengetahui / memformulasikan apa masalahnya, maka berkonsultasi dengan pihak yang kompeten, seperti psikolog, akan sangat membantu memberikan petunjuk, arah dan bimbingan. Untuk sembuh dari shopaholic membutukan usaha dan ketekunan, kedisiplinan dan pengendalian diri. Selain itu, empati dari anggota keluarga dan penderita sangat membantu dalam mempercepat kesembuhan penderita.
Dalam kehidupan sekarang yang diwarnai dengan konsumerisme, hendaknya kita menyadari bahwa manusia bukanlah human having tetapi human being. Semoga pembahasan tentang Shopaholic, dapat memberikan manfaat bagi Anda dan dapat mencegah meningkatnya problem shopaholic.

Koping Stress Pada Etnis Bali, Jawa, dan Sunda

Jurnal dengan judul Koping Stress Pada Etnis Bali Jawa dan Sunda ditulis oleh Andrian Pramadi dan Hari K. Lasmono Fakultas Psiokologi Universitas Surabaya yang diterbitkan oleh Anima Indonesian Psychological Jornal pada tahun 2000 vol 2 no 4 halaman 326-340. Dalam jurnal ini, dilakukan penelitian tentang koping stress lintas budaya. Dalam hal ini nilai-nilai budaya khususnya pada etnis Bali, Jawa, dan Sunda dikaitkan dengan cara individu dalam proses kognitifnya mengahadapi masalah yang dapat menyebabkan stress. Koginitif dan emosi individu dalam ketiga budaya tersebut berusaha untuk menghadapi stress dengan pembentukan reaksi terhadap stress yang mengacu pada coping behavior. Pengaruh kebiasaan terkait agama dan kebiasaan individu pada ketiga etnis tersebut juga dikaitan dalam koping stress. Dalam, jurnal ini mencatat penelitian untuk melihat apakah ada perbedaan dari ketiga budaya yaitu budaya Bali, Jawa dan Sunda dalam menghadapi stress melalui coping behavior. Dibawah ini akan dibahas lebih lanjut.

  1. Latar Belakang Masalah

Peneliti mencoba mengaitkan koping stress dalam konteks budaya atau sosial dengan agama dan pola hidup sehari-hari termasuk kebiasaan terpola yang terbentuk dari generasi kegenerasi. Sumber stresnya adalah ketidakpastian pada masa depan yang berkaitan dengan kondisi ekonomi dan benturan budaya lain sebagai akibat dari globalisasi.

Di pulau Bali, proses perubahan dalam masyarakat mengalami percepatan yang sangat besar terutama karena sistem pendidikan sekolah amat intensif dan ekstensif. Masyarakat Bali merasakan aspek negatif dari proses moderenisasi yang mengancam nilai-nilai budaya yang telah dijunjung tinggi. Ini menimbulkan situasi dilematis antara kompromi atau menolak percepatan moderenisasi. Dilema-dilema ini yang akan menciptakan situasi-situasi ketidakpastian akan masa depan sebagai sumber stres dan akan dilihat bagaimana coping behavior yang ditampilkan.

Di Jawa (Jogjakarta), problem yang dihadapi adalah jumlah penduduk dan tingkat persaingan yang kuat dalam kerja dan sekolah, disatu sisi dalam persaingan itu mereka tetap memegang kaidah budaya Jawa yaitu berusaha tidak menimbulkan konflik terhadap sesama (kaidah pertama) dan berusaha bersikap hormat sesuai derajat dan kedudukannya. Kedua kidah ini menurut Geertz telah terbatinkan dalam setiap anak Jawa sehingga apabila menghadapi konflik, mereka kurang dapat bersifat asertif dan akan banyak menggunakan bahasa-bahasa simbol. Salah satu permasalahan ini yang menarik untuk diteliti sebagai salah satu sumber stresor yang nantinya akan dilihat sumber stresornya.

Permasalahn yang dihadapi budaya Sunda adalah mengenai persaingan hidup. Dalam budaya Sunda dikenal ungkapan “uyah mah tara tees ka luhur” (garam bila mencair tidak akan menetes ke atas), artinya bahwa masyarakat senantiasa menimpakan keburukan tingkah laku anak terhadap orang tua. Sehingga keluarga mempunyai peranan penting dalam pembentukan sikap anak nantinya. Tantangan hidup nantinya dalam menghadapi ketidakpastian masa depan menarik untuk diteliti dalam proses coping behaviornya.

  1. Teori dan Hipotesis

    1. Teori

  • Teori tentang stres

Stres merupakan proses yang meliputi stressor dan strain dengan menambahkan dimensi hubungan antara individu dengan lingkungan.

  • Teori hubungan coping behavior dengan proses kognitif

Moos dan Schafer menggambarkan proses coping:

  • Teori Benedict

Teori Benedict menjelaskan bahwa perhatian bergerak dari kebudayaan ke anggota kebudayan.

  • Teori tentang budaya

Sibrani merangkum definisi-definisi budaya menurut Taylor, Wilson, Goodenough, dan Murdock, kebudayaan adalah segala pengetahuan milik masyarakat yang ditransmisikan dan dikomunikasikan secara sosial yang tercermin dalam ide, tindakan dan hasil kerja manusia, berfungsi dalam kehidupan bermasyarakat, yang harus dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat tersebut.

Matsumoto mendefinisikan budaya sebagai serangkaian sikap, nilai, kepercayaan, dan perilaku yang dipakai bersama sekelompok orang, yang dikomunikasikan dari generasi kegenerasi.

  • Teori coping behavior

Coping behavior merupakan respon yang bersifat perilaku psikolosis untuk mengurangi tekanan dan sifatnya dinamis. Bentuk-bentuk koping dibedakan dalam beberapa respon, yaitu:

    • Appraisal focused coping

Fokusnya pada pemilihan arti, menentukan arti situasi secara pribadi

    • Problem focused coping

Respons yang berusaha memodifikasi sumber stres dengan menghadapi situasi sebenarnya.

    • Emotional focused coping

Respon yang mengendalikan penyebab stres yang berhubungan dengan emosi dan usaha memelihara keseimbanganyang efektif.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan bentuk koping, yaitu:

    • Jenis kelamin

    • Tingkat pendidikan

    • Perkembangan usia

    • Konteks lingkungan dan sumber individual

    • Status sosial ekonomi

    1. Hipotesis

  • Faktor budaya antara budaya Bali, Jawa, dan Sunda diduga berkaitan dengan coping behavior yang ditampilkan dalam menghadapi sumber stres.

  • Budaya Bali, Jawa dan Sunda memiliki karakteristik yang berbeda sehingga diduga juga memilki reaksi yang berbeda dalam menghadapi stres.

  1. Metode Penelitian

    1. Instrumen

Tampilan Coping behavior diungkap dengan menggunakan delapan strategi coping dari Taylor (1991) yaitu:

      • Konfrontasi

      • Mencari dukungan sosial

      • Merencanakan pemecahan masalah

      • Kontrol diri

      • Membuat jarak

      • Penilaian kembali secara positif

      • Menerima tanggung jawab

      • Lari atau menghindar

Kedelapan strategi tersebut deitransformasikan kedalam pertanyaan-pertanyaan,subjek diminta menyebutkan stressor secara spesifik berkaitan dengan kepastian masa depan dan kemudian dan mengurutkannya dalam lima skala pengalaman stres yang hasilnya berupa angket yang berbentuk data kuantitatif

Penulis membuat pertanyaan berdasarkan sepuluh sistem tingkah laku dari Jhon Whiting dan Irwins. Child yaitu:

  • Tingkah laku yang bersifat selalu minta dilayani

  • Tingkah laku yang bersifat suka mengungkapkan perasaaan

  • Tingkah laku yang bersifat bergantung pada kemampuan diri sendiri

  • Tingkah laku yang bersifat mempunyai rasa tanggung jawab

  • Tingkah laku yang bersifat ingin mencapai sesuatu yang lebih baik

  • Tingkah laku yang bersifat patuh pada orang tua atau pemimpin

  • Tingkah laku yang bersifat gemar menolong orang lain yang mengalami kesukaran

  • Tingkah laku ingin menguasai orang lain

  • Tingkah laku yang ramah dalam pergaulan

  • Tingkah laku yang bersifat suka menyerang, baik sebagai ancaman dari luar maupun yang bersifat menurut kesempatan

Kesepuluh sistem tingkah laku duhubungkan dengan data observasi mengenai lingkungan hidup, sistem kekerabatan, kehidupan keagamaan dan pelaksanaanya.

    1. Sampel

Sample penelitian adalah remaja dan dewasa serta orang tua masing-masing di Bali, Jawa, dan Sunda yang hidup di daerah sub- urban.

    1. Prosedur

        1. Wawancara

Wawancara terkait coping behavior untuk remaja dan dewasa dan wawancara terkait sistem tingkah laku untuk orang tua

        1. Observasi

Observasi pada lingkungan hidup, sistem kekerabatan, kehidupan keagamaan, dan pelaksanaanya.


    1. Analisis

Menggunakan analisis kuantitatif ( penghitungan statistik ) dan analisis kuantitatif ( analisis isi ).

  1. Hasil dan Pembahasan

    1. Hasil dan Pembahasan Bali

          • Hasil

Table 1

Perbandingan Coping Behavior Berdasarkan Jenis Kelamin

CC

D

SC

SSC

AR

EA

PPS

PR

0.720

0.277

0.936

0.346

0.420

0.626

0.262

0.369

Tabel 2

Perbandingan Usia antara > 30 tahun dan <>

CC

D

SC

SSC

AR

EA

PPS

PR

0.286

0.535

0.362

0.325

0.000

0.001

0.20

0.082

Keterangan:

CC

: Confrontative Coping

AR

: Accepting Responsibility

D

: Distance

EA

: Escape Avoidance

SC

: Self Control

PPS

: Planful Problem Solving

SSC

: Seeking Social Support

PR

: Positive Reapprasial

Bentuk koping yang sering digunakan dalam budaya Bali adalah accepting responsibility, confronting coping dan planful problem solving.

          • 2. Pembahasan

Subjek terbagi dalam dua bagian besar yaitu yang memiliki pendidikan tinggi, menengah kebawah dan sebagian besar mnemilki penghasilan sendiri. Hasil diatas merupakan tampilan koping dari jenjang pendidikan yang beragam. Berdasarkan 100 subjek Bali didapati tiga bentuk koping yang sering digunakan yaitu:

            1. Accepting Responsibility

Individu mengakui bahwa diri sendiri ikut mempunyai saham terhadap munculnya permasalahan dan mencoba belajar dari pengalaman yang ada. Munculnya koping ini difasilitasi oleh kondisi lingkungan yang sifat kebersamaan dan sanksi sosial masih kental. Hal ini cocok dengan budaya Bali karena di Bali masih menerapkan sistem kasta yang masih kental sehingga sanksi sosial pun masih ketat.

            1. Confronting Coping

Individu berpegang teguh pada pendiriannya dan memperjuangkan apa yang diinginkannya, mengubah situasi secara agresif dan adanya keberanian mengambil resiko. Tampaknya ini cocok dengan budaya Bali yang kental dengan kehinduannya yaitu individu harus mandiri dan memperjuangkan keinginannya, ditunjukkan dengan bekerja keras dan tidak ingin bergantung dengan orang lain. Koping ini menggambarkan sample subjek yang rata-rata berpendidikan tinggi dan memiliki pengalaman yang luas.

            1. Planful Problem Solving.

Individu memikirkan suatu rencana tindakan untuk mengubah dan memecahkan situasi. Tidak ada unsur emosianal dalam menghadapi masalah, rasionalitas yang berjalan. Ini berkaitan dengan tingkat pendidikan yang tinggi (setengah dari sample berpendidikan tinggi) atau berpengalaman (sebagian besar adalah dewasa awal). Agak sulit menghubungkan bentuk koping ini dengan budaya Bali karena sistem budaya Bali lebih menekankan pada unsur perasaan.

    1. Hasil dan Pembahasan Jawa

          • 1. Hasil

Table 3

Perbandingan Coping Behavior Berdasarkan Jenis Kelamin

CC

D

SC

SSC

AR

EA

PPS

PR

0.575

0.768

0.760

0.276

0.07

0.385

0.196

0.960

Table 4

Perbandingan Usia antara > 30 tahun dan <>

CC

D

SC

SSC

AR

EA

PPS

PR

0.974

0.387

0.711

0.439

0.531

0.077

0.129

0.850

Keterangan:

CC

: Confrontative Coping

AR

: Accepting Responsibility

D

: Distance

EA

: Escape Avoidance

SC

: Self Control

PPS

: Planful Problem Solving

SSC

: Seeking Social Support

PR

: Positive Reapprasial

Jenis koping yang sering dugunakan dalam budaya Jawa adalah planful problem solving.


          • 2. Pembahasan

Pada budaya Jawa hasil menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara jenis kelamin dalam melakukan coping terhadap masalah tekanan dan tidak adanya perbedaan antara usia diatas dan dibawah tiga puluh tahun. Tiadanya perbedaan menunjukkan bahwa pada budaya Jawa, prinsip-prinsip budaya telah ditekankan secara sama tanpa membedakan jenis kelamin dan umur. Pokok-pokok budaya telah ditanamkan sejak kecil dan ini melekat sampai dewasa sehingga apabila menghadapi tekanan atau masalah, mereka menghadapinya dengan model yang sama yaitu mengambil perlindungan ibu sebagai figur moral.

Bentuk koping sering digunakan planful problem solving. Ini mengherankan karena sering dianggap dan streotip orang Jawa yang emosional tetapi bentuk kopingnya adalah planful focused solving bukannya emotional focused solving.

Hal ini disebabkan karena kondisi subjek yang berlatar belakang budaya Jawa sebagian besar berpendidikan dan cukup memperoleh pengetahuan dari koran, TV dan radio, sehingga membuat mereka memiliki bahan acuan dalam mencari pemecahan masalah. Sejak kecil, orang telah belajar menekan perasaan negatif dan menguasai emosi agar tidak menggangu satu sama lain. Dengan kata lain, orang tidak hanya belajar menghindari konfrontasi langsung tetapi juga tak memberinya kesempatan muncul. Berdasarkan hal tersebut usaha memendam konflik dianggap sebagai norma, selapis normalitas akan menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya dan tegangan akan berjalan terus dalam waktu yang lama. “Ya, kita dapat mengampuni, namun tak akan melupakannya”, begitulah kata-kata yang sering diucapkan orang Jawa. Kendalanya bagaimana mereka mengakui secara jujur adanya konflik. Jadi tidaklah heran hasilnya orang Jawa banyak menggunakan planful problem solving

c. Hasil dan Pembahasan Sunda

          • 1. Hasil

Tabel 5

Perbandingan Coping Behavior Berdasarkan Jenis Kelamin

CC

D

SC

SSC

AR

EA

PPS

PR

0.512

0.897

0.651

0.485

0.723

0.013

0.133

0.037





Table 6

Perbandingan Usia antara > 30 tahun dan <>

CC

D

SC

SSC

AR

EA

PPS

PR

0.500

0.434

0.695

0.567

0.420

0.771

0.420

0.371

Keterangan:

CC

: Confrontative Coping

AR

: Accepting Responsibility

D

: Distance

EA

: Escape Avoidance

SC

: Self Control

PPS

: Planful Problem Solving

SSC

: Seeking Social Support

PR

: Positive Reapprasial

Koping yang sering digunakan dalam budaya Sunda adalah accepting responsibility, confrontative coping dan self control.

          • 2. Pembahasan

Subjek perempuan lebih banyak dari subjek laki–laki karena proses pengambilan data dari pagi sampai siang saat subjek laki-laki kerja. Hasil menunjukkan bahwa laki-laki maupun perempuan sama-sama menggunakan bentuk koping yang sifatnya emotional focused coping dalam menghadapi tekanan. Ini menggambarkan bahwa perilaku yang ditampilkan untuk mengendalikan penyebab stress yang berkaitan dengan emosi dan usaha yang dilakukan adalah memelihara keseimbangan efektif, yang sesuai dengan tipikal orang Sunda yang lebih introvert.

Tidak ada perbedaan bentuk koping antara usia diatas maupun dibawah tiga puluh tahun. Ini menunjukkan bahwa tidak ada bentuk koping yang menjadi ciri khas dari usia tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa transfer budaya dari orang tua ke anak berjalan dengan baik.

Perbedaan bentuk koping secara detail berdasarkan jenis kelamin, bentuk koping yang digunakan berbeda dalam hal escape evoidance. Perbedaan terjadi karena jumlah subjeknya banyak yang perempuan yang lebih mengarah pada emotional focused coping. Bentung koping ini sebenarnya sesuai dengan karakteristik budaya Sunda yang terlalu perasa atau mudah gembira. Apabila menghadapi tekanan, mereka cenderung berharap situasi akan cepat berlalu dan menunjukkan sikap menghindar. “karena buat apa bersedih-sedih dengan masalah”, begitu kata mereka.

Bila melihat bentuk koping yang sering digunakan tanpa melihat perbedaan jenis kelamin dan usia adalah accepting responsibility, confrontative coping dan self control. accepting responsibility dan self control merupakan bagian dari emotional focused coping.

          • Accepting Responsibility

Individu mengakui bahwa diri sendiri merupakan penyebab masalah dan ada re-evaluasi diri, kemudian mencoba mengadakan perbaikan diri dengan mencoba belajar dari masalah. Ini ada kaitannya dengan orang Sunda yang terlalu perasa sehingga apabila ada suatu masalah itu dianggap sebagai tanggung jawab dirinya dan ada perasaan bersalah.

          • Self Control

“Menabahkan hati” dan tidak membiarkan perasaannya terlihat. Ini dilakukan karena mengacu pada filosofi bahwa tidak baik menampilan perasaan atau tindakan kecewa, sedih, marah, yang pada akhirnya membuat orang laik tersinggung atau marah.

7.Confrontative Coping

Bentuk koping ini dipakai apabila masalah itu memang harus diselesaikan dan tak dapat dibiarkan berlarut-larut. Peneliti mendapat gambaran bentuk koping yang berjenjang: self control Accepting Responsibility Confrontative Coping

  1. Kesimpulan

Berdasarkan jurnal tidak terdapat hubungan yang khas dan detail antara societal identity yang berisikan values, interest, social roles, religy dan sistem tingkah laku dengan koping behavior. Dalam penelitian ini, budaya Bali yang membentuk orangnya menjadi introvert tetapi tebuka akan informasi dari luar, menampilkan coping behavior yang sifatnya problem focused coping yaitu confrontative dan planful problem solving. Selain itu bentuk accepting responsibility (sifatnya emosional) masih digunakan yaitu individu cenderung menyalahkan diri sendiri sebagai penanggung jawab munculnya suatu masalah. Pada budaya Sunda bentuk kopingnya antara problem focused (confrontative coping) dan emotional focused (accepting responsibility dan self control) pada budaya Jawa bentuk koping yang sering dipakai adalah problem focused (planful problem solving. Padahal dari segi budaya hampir tak ada perbedaan antara Bali, Jawa dan Sunda.

  1. Evaluasi

          • Dalam penelitian terdapat metodologi terutama berkaitan dengan penentuan sample sehingga proses pengambilan simpulannya tidak dapat secara mendalam.

          • Dalam penelitian tidak ada control religi yang mempengaruhi coping behavior karena karakteristik agama yang berbeda pada setiap etnis mungkin mempengaruhi coping behavior yang ditampilkan.

          • Kurangnya perencanaan sample dalam pembagiannya berdasarkan usia serta jenis kelamin, karena coping behavior yang ditampilkan antara wanita dan laki-laki berbeda. Hal ini tampak pada kasus di Sunda yang mana subjek sebagian besar adalah wanita sehingga koping stress yang dipakai sifatnya emotional focused coping.

Pemakaian Gerak-Isyarat Anak Dalam Menunjukkan Pengetahuan Implisit dan Menggiring Pada Pembelajaran

Sara C. Broaders, Susan Wagner cook, Zachary Mitchell dan Susan Goldin-Meadow

Universitas Chicago

Pembicara secara rutin menggunakan gerak isyarat dengan menggunakan tengan mereka dalam menyampaikan informasi yang tidak ditemukan dalam pembicaraannya. Jadi, gerak-isyarat pembicara dapat memperlihatkan pengetahuan implisitnya. Sering kali, pelajar mampu mengerjakan tugasnya dengan baik tanpa mampu mejelaskan secara verbal bagaimana caranya. Hal tersebut disebabkan, pelajar tidak mampu meperlihatkan pengetahuan implisitnya. Banyak peneliti berpendapat bahwa gerak isyarat banyak digunakan dalam penyampaian informasi (Goldin-Meadow, 2003;Kendon, 1980;Mc Neil, 1985, 1987, 1992). Oleh karena eksperimen ini dilakukan untuk melihat apakah gerak isyarat dapat menjadi cara untuk menunjukkan pengetahuan implisit dan menggiring pada pembelajaran. Dilakukan dua study untuk membuktikan hal tersebut, antara lain:

Study I

  1. Tujuan:

Untuk membuktikan apakah gerak-isyarat dapat mendorong pelajar untuk menyampaikan pengetahuan implisit mereka.

  1. Metode Eksperimen:

  • Partisipan:

Partisipan adalah 106 anak, 55 perempuan dan 51 laki-laki, pada anak tinggkat 3 akhir dan tingkat 4 awal di sekolah pada area Chicago.

  • Prosedur

Prosedurnya adalah memerintahkan anak untuk memecahkan 6 soal persamaan matematika. Soal tersebut ditulis di papan tulis dengan tipe: 6+3+7= _ +7. Prosedur dibagi menjadi 2 fase:

    1. Fase Baseline

Pada fase baseline, soal diberikan tanpa instruksi tentang penggunaan gerak-isyarat. Anak hanya diberikan soal yang harus dipecahkan serta menjelaskan cara menyelesaikannya. Secara random, anak pada fase baseline dikelompokkan menjadi 3 kelompok yang instruksinya akan diberikan saat fase manipulasi.

    1. Fase Manipulasi

Pada fase manipulasi,kelompok tersebut masing-masing diberi intruksi, yaitu:

      1. Kelompok told-to- gesture

Sebanyak 33 anak, diberi intruksi untuk menggunakan tangan mereka ketika menjelaskan bagaimana pemecahan soal yang telah diberikan.

      1. Kelompok told-not-to-gesture

Sebanyak 35 anak, diberi intruksi yang mana melarang untuk menggunakan gerakan tangan mereka untuk menjelaskan bagaimana pemecahan soal yang telah diberikan.

      1. Kelompok control

Sebanyak 38 anak, diperintahkan memecahkan masalah tersebut tanpa menyinggung masalah penggunaan gerakan tangan.

  1. Hasil

          • Strategi yang dihasilkan selama baseline adalah 67 anak dari 106 anak menggunakan gerak-isyarat dalam menjelaskan masalah. Dalam kelompok told-not-to-gesture, 20 dari 35 anak menggunakan gerak-isyarat, 26 dari 38 anak pada kelompok kontrol dan 21 dari 33 anak pada kelompok told-to-gesture.

          • Strategi yang dipertahankan selama manipulasi adalah 38% anak menggunakan gerak-isyarat pada kelompok kontrol, 32% pada kelompok told-to-gesture dan tidak ada yang menggunakan gerak_isyarat pada kelompok told-not-to-gesture. Strategi yang dihasilkan dari gerak_isyarat lebih kecil dari kemampuan berbicara yaitu 32% vs 95%.

          • Penambahan strategi saat manipulasi adalah anak pada kelompok told-to-gesture menambah strategi lebih banyak daripada pada kelompok told-not-to gesture.

  1. Kesimpulan

Mendorong anak untuk memakai gerak isyarat membuat mereka menunjukkan perkembangan pemikiran mereka dan menampakkan pengetahuan implicit dalam memecahkan masalah.

Study II

            1. Tujuan:

Tujuannya adalah untuk membuktikan apakah mendorong anak menggunakan gerak-isyarat akan memberikan keuntungan pada anak pada peningkatan pembelajaran:

            1. Metode eksperimen

              • Partisipan

Partisipan 70 anak, 37 perempuan dan 33 laki-laki, pada anak tinggkat 3 akhir dan tingkat 4 awal di sekolah pada area Chicago. Tidak satu pun anak yang merupakan partisipan study 1.

              • Prosedur

            1. Hasil

                • Strategi yang dihasilkan selama baseline adalah 22 dari 34 anak pada kelompok told-not-to-gesture menggunakan gerak isyarat dan 28 dari 36 dari kelompok told-to-gesture.

                • Strategi yang dipertahankan selama manipulasi adalah 46% anak dari kelompok told-to-gesture mampertahankan strateginya. Tidak satupun menghasilkan gerak-isyarat khusus kedalam penjelasan verbal.

                • Strategi yang ditambahkan selama manipulasi adalah anak dari kelompok told-to-gesture menambah strategi pemecahan masalah, tetapi anak dari kelompok told-not-to-gesture tidak.

  • Hasil post-test adalah jumlah anak pada kelompok told-to-gesture yang dapat memecahkan masalah lebih banyak daripada pada kelompok told-not-to gesture.

            1. Kesimpulan

Penggunaan gerak-isyarat pada anak membuat mereka menghasilkan strategi baru dan strategi baru tersebut menyiapkan mereka dalam pembelajaran.


Dari 2 study yang telah dilakukan tersebut, dapat disimpulkan bahwa:

  • Anak yang awalnya tidak mampu memecahkan soal yang diberikan, seringkali dapat memecahkannya soal tersebut dengan hanya menggunakan gerak isyarat.

  • Setelah pemberian lesson dengan menggunakan penjelasan verbal dan gerak-isyarat, anak-anak cenderung menggunakan gerak isyarat dan anak yang menggunakan gerak-isyarat cenderung lebih berhasil menyelesaikan soal dengan benar daripada anak-anak yang tidak menggunakan gerak-isyarat.

  • Anak-anak yang menggunakan gerak-isyarat cenderung belajar dari instruksi yang diberikan padanya daripada anak-anak yang tidak menggunakan gerak-isyarat.

  • Menyuruh anak menggunakan gerak isyarat dapat mendorong mereka untuk menyampaikan hal-hal yang tidak dapat ditampakkan sebelumnya dan ide-ide implicit. Hal ini membuat mereka untuk mau menerima instruksi yang digunakan untuk menggiring pada pembelajaran.

Rancangan Pelatihan Menurut Teori Albert Bandura

Teori-Teori

A. Teori Belajar Sosial Albert Bandura

Teori belajar sosial Albert Bandura didasarkan pada konsep saling menentukan (reciprocal determinism), tanpa penguatan (beyond reinforcement), dan pengaturan diri atau perpikir (self regulation atau cognition).

  • Determinis resiprokal

Tingkah laku manusia merupakan bentuk interaksi timbal balik yang terus menerus antara determinan kognitif, behavioral dan lingkungan.

P

: Pribadi

L

: Lingkungan

T

: Tingkah laku


  • Tanpa reinforsment

Belajar melalui observasi tanpa ada reinforsmen yang terlibat, tingkah laku ditentukan oleh antisipasi konsekuensi.

  • Kognisi dan regulasi diri

Konsep Bandura menempatkan manusia sebagai pribadi yang dapat mengatur diri sendiri (self regulation), mempengaruhi tingkah laku dengan cara mengatur lingkungan, menciptakan dukungan kognitif dan mengadakan konsekuensi bagi tingkah lakunya sendiri.

Strategi Pengubahan Sumber Harapan Diri

Sumber

Cara Induksi


Pengalaman

Participant modeling

Meniru model yang berprestasi

performansi

Performance desensitization

Menghilangkan pengaruh buruk prestasi masa lalu


Performance exspore

Menonjolkan keberhasilan yang pernah diraih


Self instructured performance

Melatih diri untuk melakukan yang terbaik

Pengalaman

Live modeling

Mengamati model yang nyata

vikarius

Symbolic modeling

Mengamati model simbolik, film, komik, cerita

Persepsi

Suggestion

Mempengaruhi dengan kata-kata berdasarkan kepercayaan

verbal

Exbortation

Nasihat, peringatan yang mendesak atau memaksa


Self Instruction

Memerintah diri sendiri


Interpretive treatment

Interpretasi baru memperbaiki interpretasi lama yang salah

Pembangkitan

Attribution

Mengubah atribusi, penanggung jawab suatu kejadian emosional

emosi

Relaxation biofeedback

Relaksasi


Symbolic desensitization

Menghilangkan sikap emosional dengan modeling simbolik


Symbolic exposure

Memunculkan emosi secara simbolik




Menurut Bandura belajar melalui observasi dapat mempengaruhi tingkah laku individu. Empat proses yang paling penting agar belajar melalui observasi dapat tejadi, yaitu:

  1. Perhatian (attentiom process)

Perhatian yang dipengaruhi oleh asosiasi pengamat dengan modelnya, sifat model yang atraktif dan arti penting tingkah laku.

  1. Representasi (representation process)

Tingkah laku yang akan ditiru harus disimbolisasikan dalam ingatan, baik dalam bentuk verbal maupun dalam bentuk gambaran atau imjinasi.

  1. Peniruan tingkah laku model (behavior production process)

Hasil melalui belajar melalui observasi tidak dinilai berdasarkan kemiripan respon dengan tingkah laku yang ditiru, tetapi lebih pada tujuan belajar dan harapan pebelajar.

  1. Motivasi dan penguatan (motivation and reinforcement process)

Belajar melalui pengamatan menjadi efektif kalau pebelajar memilki motivasi yang tinggi untuk dapat melakukan tingkah laku modelnya.

Belajar melalui observasi biansanya didapatkan dari peniruan (modeling). Modeling melibatkan penambahan dan pengurangan tingkah laku yang teramati, menggeneralisasi berbagai pengamatan sekaligus melibatkan proses kognitif. Adapun beberapa modeling:

  1. Modeling tingkah laku baru

  2. Modeling mengubah tingkah laku lama

  3. Modeling kondisioning

  4. Modeling simbolik


B. Teori Pelatihan Tenaga Kerja

  • Pengertian pelatihan menurut Sikula (1976)

Pelatihan merupakan proses pendidikan jangka pendek yang mempergunakan prosedur sistematis dan terorganisir, sehingga tenaga kerja non manajerial mempelajari pengetahuan dan keterampilan teknis untuk tujuan tertentu.

  • Tujuan pelatihan menurut Sikula (1976)

    1. Meningkatkan produktivitas

    2. Meningkatkan mutu

    3. Meningkatkan ketepatan dalam perencanaan SDM

    4. Meningkatkan semangat kerja

    5. Menarik dan menahan tenaga kerja yang baik

    6. Menjaga kesehatan dan keselamatan kerja

    7. Menghindari keusangan (obsolescence)

    8. Menunjang pertumbuhan pribadi

  • Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pelatihan menurut Dale Yader

    1. Individual differences

    2. Relation to job analysis

    3. Motivation

    4. Active participation

    5. Selection of trainees

    6. Selection of trainers

    7. Trainer training

    8. Training methods

    9. Principle of training

  • Bentuk dan pelaksanaan pelatihan

    1. Orientation training

Pelatihan ditujukan untuk mengarahkan pegawai baru kedalam situasi pekerjaan.

    1. Vestibule training

Pelatihan untuk mengembangkan keterampilan kerja.

    1. On the job training

Pelatihan berbentuk pendidikan yang diberikan pada karyawan yang telah bekerja dan mempunyai kecakapan khusus untuk meninggikan mutu pekerjaan dan memajukan karyawan tersebut.

    1. Apprentice training

Pelatihan bagi tenaga-tenaga calon yang akan menjadi tenaga kerja dengan kecakapan khusus dan qualified.

    1. Training with in industry

Pelatihan yang diperuntukkan bagi pimpinan dan pengawas.

  • Penyusunan program pelatihan

  1. Identifikasi kebutuhan pelatihan atau study pekerjaan (job study)

Miner (1992) mengemukakan bahwa pembelajaran, terlibat dalam mengembangkan empat macam keterampilan yang pada umumnya dilatihkan yaitu:

    1. Knowledge based skills

Keterampilan berdasarakan pengetahuan diperlukan dimiliki untuk dapat melakukan tugas pekerjaannya secara baik.

    1. Singular behavior skills

Keterampilan perilaku sederhana, seperti datang tepat waktu, mencakup perilaku yang dapat dibentuk dan diamati.

    1. Limited interpersonal skills

Keterampilan antar pribadi terbatas, terlibat dalam aktivitas memberi arahan kepada karyawa baru dll.

    1. Social interactive skills

Berlangsung pada taraf manajerial mencakup memanajemen konflik, dll.

Dengan demikian untuk dapat mengidentifikasi kebutuhan pelatihan, perlu dilaksanakan dua kegiatan utama yaitu:

  1. Melaksanakan studi pekerjaan (job study)

  2. Mengadakan asesment dari tenaga kerja

  1. Penetapan sasaran pelatihan

Mager (1962) merumuskan tiga aspek sasaran yang baik adalah:

    1. Ada uraian tentang situasi yang diberikan (given what)

    2. Ada uraian tentang apa yang harus dilakukan (does what)

    3. Ada uraian tentang bagaimana baiknya trainee melaksanakannya (how well)

Sasaran khusus dibedakan berdasarkan jenis perilaku yang hendak ditimbulkan melalui pelatihan, yaitu:

  1. Sasaran kognitif

  2. Sasaran afektif

  3. Sasaran psikomotor

  1. Penetapan kriteria keberhasilan dengan alat ukurnya

Criteria keberhasilan pelatihan dapat ditetapkan perilaku-perilaku trainees sebagaimana ditampilkan pada akhir program pelatihan atau dapat pula ditetapkan prestasi kerja trainees setelah mereka kembali kepekerjaan mereka masing-masing selama waktu tertentu.

  1. Penetapan metode pelatihan dan penyajiannya

Bentuk pelatihan dapat dibedakan dalam:

    1. Pelatihan-pada-pekerjaan (on-the-job pelatihan)

    2. Pelatihan-di luar-pekerjaan (off-the-job pelatihan)

Pelatihan-di luar-pekerjaan menggunakan pelatihan di kelas. Metode pelatihan di kelas terdiri atas:

  1. Kuliah

Pembicaraan yang diorganisasi secara formal tentang hal-hal khusus, merupakan suatu ceramah yang disampaikan secara lisan untuk tujuan pendidikan.

  1. Konperensasi atau diskusi kelompok

Pertemuan formal dimana terjadi diskusi atau konsultasi tentang sesuatu hal yang penting serta menekankan adanya diskusi kelompok kecil, bahan yang terorganisasi dan keterlibatan peserta secara aktif.

  1. Study kasus (case study)

Uraian tertulis atau lisan tentang masalah dalam perusahaan selama kala waktu tertentu yang nyata atau hipotesis (namun didasarkan pada kenyataan).

  1. Bermain peran (role playing)

Mempelajari keterampilan hubungan antar manusia melalui praktek dan untuk mengembangkan pemahaman mengenai pengaruh kelakuan mereka sendiri pada orang lain.

  1. Bimbingan berencana atau instruksi bertahap (Programmed instruction)

Terdiri atas urutan langkah yang berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan suatu pekerjaan atau suatu kelompok tugas pekerjaan.

  1. Simulasi

Suatu jenis alat atau teknik menyalin setepat mungkin kondisi-kondisi nyata yang ditemukan dalam pekerjaan.

  1. Pencobaan dan revisi

  2. Implementasi dan evaluasi


  1. Contoh Kasus

Sebuah perusahaan advertising yang bernama PT Sentosa Riau baru saja melaksanakan perekrutan tenaga kerja baru. Dalam perekrutan tersebut diperoleh sepuluh tenaga kerja baru sebagai desain grafis advertising. Namun terdapat permasalahan dalam tenaga kerja baru dengan tenaga kerja yang sebenarnya diharapkan oleh perusahaan tersebut. Perusahaan tersebut menginginkan tenaga kerja baru yang memiliki kemampuan pada bidang seni dan komputer grafis serta pemahaman advertising yang cukup baik. Namun tenaga kerja yang didapat hanya memiliki kemampuan pada bidang seni khususnya menggambar saja tanpa adanya kemampuan dalam desain grafis komputer, pengetahuan, pemahaman dan pengalaman tentang advertising juga sangat minimal. Ini dikarenakan kurangnya SDM baru yang berkompeten dalam seni maupun desain grafis dan periklanan di Riau, karena sangat minimnya universitas atau lembaga pendidikan lainnya yang membuka jurusan ataupun program studi desain komunikasi visual. Karyawan lama yang berkompeten di bidang adverstising dan desain grafis berasal dari Jawa, sedangkan karyawan baru adalah masyarakat dari Riau, sehingga pemahaman mereka juga kurang dengan bidang ini. Untuk itu pihak perusahaan berusaha untuk meningkatkan mutu tenaga kerja baru dengan membuat pelatihan tentang adverstising dan desain grafis. Pelatihan ini akan dilaksanakan dalam tujuh hari..

  1. Pelatihan Yang Diberikan

Pelatihan ini dilaksanakan dalam bentuk orientation training yang akan dilaksanakan pada jam kerja seperti karyawan lama dan apprentice traning yang akan dilaksanakan diluar jam kerja yaitu setelah jam kerja selama satu minggu, lima hari selama dua jam bertempat di perusahaan dan dua hari out bond bertempat diluar perusahaan yaitu di bukit berbunga. Dengan memberi pengetahuan tentang desain grafis, diharapakan trainees memiliki kemampuan khusus dibidang desain grafis. Orientation training ini diharapakan tenaga kerja baru tersebut terbiasa dengan lingkungan tempat kerja tersebut dengan melihat ekaligus mengobservasi bahkan mencontoh cara kerja karyawan lama. Diharapkan dengan modeling yang baik, trainees dapat meniru sebagai pembelajaran diri untuk berkompeten dalam pekerjaan yang akan diberikan nantinya. Dalam orientation traning ini modeling lebih difokuskan pada cara karyawan baru tersebut meniru model (karyawan lama) dalam mendesain ikalan yang baik dengan menggunakan komputer sedangkan pemberian pengetahuan secara mendalam akan diberikan dalam apprentice training.

Adapun tahap-tahap pelatihannya adalah:

  1. Tahap I : Identifikasi kebutuhan pelatihan atau studi pekerjaan (job study)

Perusahaan menginginkan karyawan baru yang memilki kemampuan dalam bidang desain grafis dan pengetahuan advertising yang baik agar mampu mebuat iklan-iklan yang berkualitas, karena dari identifikasi karyawan baru, karyawan baru tersebut tidak memiliki pengalaman dalam bidang desain grafis dengan menggunakan komputer dan pengetahuan tentang advertising. Karyawan baru tersebut hanya memiliki kreatifitas seni yang baik. Pelatihan ini akan dilatihkan beberapa keterampilan yang dikembangkan oleh Miner (1976), yaitu;

    1. Knowledge Based skills

Pelatihan diharapkan dapat meingkatkan keterampilan tranees dalam bidang desain grafis dan pembuatan iklan yang baik seperti yang dibutuhkan dalam perusahaan.

    1. Singular behavior skills

Pelatihan menjadikan trainees dapat menggunakan komputer dengan baik dalam desain grafis.

    1. Limited interpersonal skills

Pemberian tanggung jawab mengerjakan tugas-tugas mendesain suatu iklan yang bermutu.

    1. Social interactive skills

Pelatihan yang dilakukan dapat meminimalisasikan konflik-konflik yang akan terjadi terkait kemampuan karyawan baru yang kurang.

Butir-butir yang dipertimbangkan dalam pelatihan advertising:

      1. Apakah karyawan baru tersebut mengerti tentang pembuatan iklan yang baik dalam penggunaan bahasa maupun gambar iklan?

      2. Apakah karyawan baru tersebut dapat menggunakan komputer yang dalam hal ini merupakan media pembuatan iklan?

      3. Apakah karyawan baru tersebut memehami tentang desain grafis?

      4. Apakah karyawan baru tersebut bisa menggunakan corel draw dan photoshop?

      5. Dapatkah karyawan baru membentuk team work yang baik?

      6. Apakah karyawan baru beradaptasi dengan lingkungan perusahaan?

  1. Tahap II : Penetapan sasaran pelatihan

Sasaran umum dalam pelatihan ini adalah tenaga kerja baru dapat meningkatkan produktivitas kerja pembuatan iklan pada perusahaan PT Sentosa yang diwujudkan dalam kreativias yang tinggi pembuatan iklan bermutu dengan menggunakan teknologi modern.

Sasaran khusus dalam pelatihan ini antara lain:

    1. Sasaran kognitif

Pelatihan diharapkan dapat membuat tranees mampu menganalisis kreativitas seni yang cocok dengan adverstising baik dalam menggunakan gambar iklan maupun bahasa iklan.

    1. Sasaran afektif

Pelatihan ini juga dibuat agar terbentuk sikap saling menghargai satu sama lain dalam sebuah team work karena nantinya akan dibentuk kelompok dalam pengerjaan tugas-tugas pelatihan.

    1. Sasaran psikomotor

Dalam pelatihan ini, tranees diharapkan dapat mendesain suatu iklan dengan menggunakan kompuer, lebih tepatnya dapat mengoperasikan komputer dengan baik.

  1. Tahap III: Penetapan kriteria dan alat ukurnya

Sebelum pelatihan (technical meeting), telah dibuat suatu ujian (pretest) wawancara dan praktek tentang adverstising. Wawancara tentang adverstising, misalnya bagaimana kriteria iklan yang baik?, Iklan yang bagaimana yang dapat mempengaruhi pembaca?,dll. Setelah diberi pertanyaan semacam ini karyawan baru tersebut kurang memberikan jawaban yang memuaskan. Dalam praktik pembuatan iklan, karyawan baru hanya bisa membuatnya dengan menggambar namun dalam penggunaan komputer masih belum terampil. Penggunaan gambar dan bahasa iklan masih belum cukup baik Karyawan baru masih belum dapat membuat desain-desain iklan dengan menggunakan komputer bahkan penggunaan program desain pun belum begitu mengerti.

Setelah pelatihan diharapkan pengetahuan karyawan baru tentang adverstising dapat lebih baik sehingga dapat mempengaruhi hasil pekerjaannya nantinya. Diadakan post-test tentang iklan ketika outbond. Trainees akan ditanyakan kembali tentang bagaimana iklan yang baik dalam penggunaan bahasa dan gambar. Posttest juga dilaksanakan pada pengetahuan desain grafis dengan pemberian menggunakan komputer yang diawasi oleh trainer Alat ukur yang tampak adalah desain iklan yang bermutu yang mana akan tampak ketika trainees mempublikasikan iklannya dan membuat masyarakat tertarik akan iklan yang mereka buat.

  1. Tahap IV: Penetapan metode pelatihan dan penyajiannya

  1. Pelatihan-pada-pekerjaan (on-the-job pelatihan)

Pelatihan dilakukan pada jam kerja seperti karyawan lainnya yaitu pada hari senin sampai jumat jam 07.00-15.00. Dalam hal ini karyawan baru diberi tugas-tugas kecil membantu karyawan lama dalam pembuatan iklan. Karyawan baru akan meniru (prinsip modeling) model (karyawan lama) tentang bagaimana mengerjakan pekerjaan periklanan itu, tentang bagaimana membuat desain iklan dan menggunakan desain grafis. Dalam pelatihan ini secara tidak langsung mengenalkan trainees tantang dunia kerja dalam bidang advertising sehingga dapat membantu trainees dalam beradaptasi dengan lingkungan kerja. Trainees dapat meniru bagaimana karyawan lama yang berkompeten melakukan tugas-tugas mereka dalam pembuatan iklan. Trainess juga akan mengenal peraturan-peraturan yang ada dalam perusahaan Advertising PT Sentosa.

  1. Pelatihan-di luar-pekerjaan (off –the-job pelatihan)

Off-the-job pelatihan dimulai dari pukul 15.30-17.30 pada hari senin-jumat sedangkan pada hari sabtu dan minggu full day (out bond) dimulai hari sabtu pukul 14.00 sampai hari minggu pukul 15.30 dengan menggunakan beberapa metode pelatihan. Dalam off-the-job pelatihan ini triner mendatangkan pemateri yang berkompeten dalam bidang advertising dan desain grafis. Metode yang dilakukan dalam pelatihan untuk PT Sentosa adalah:

    • Kuliah

Kuliah dilaksanakan pada hari senin-jumat dalam waktu 60 menit dari pukul 15.30-16.30. Dalam kuliah ini dijelakan tentang teori-teori adverstising dan desan grafis. Senin-selasa kuliah tentang advertising dan rabu-kamis tentang desain grafis. Pada akhir kuliah diberikan contoh-contoh gambar dan bahasa-bahasa iklan yang baik.

    • Studi kasus (case study)

Studi kasus tentang advertising diberikan setelah kuliah. Durasi waktu 60 menit dari pukul 16.30-17.30 pada hari senin-selasa. Trainees diberi kasus terkait tentang pembuatan iklan untuk dianalisis.

    • Praktik dalam desain grafis

Setelah pemberian materi desain grafis, trainees langsung praktek di komputer. Tidak diberi waktu khusus untuk pemeberian materi karena desain grafis harus dipraktikkan langsung agar trainees mudah memahaminya. Trainees praktik dengan melihat pemateri memberi contoh cara-cara mendesain iklan dengan menggunakan komputer.

    • Out bond

Diberikan out bond pada akhir pekan agar trainees tidak merasa jenuh,trainees akan belajar tentang kerjasama dan saling mempercayai antar rekan seprofesi karena dalam out bond ini akan diberi tugas kelompok.

  1. Tahap V: Pencobaan dan Revisi

Pelatihan ini diuji pada beberapa karyawan lama yaitu 5 orang dan tenaga ahli sebagai trainer 3 orang. Pelatihan yang dilakukan sesuai dengan sasaran dan identifikasi pelatihan dan tidak perlu revisi.

6. Tahap VI: Implementasi dan evaluasi

Pada akhir pelatihan diberikan evaluasi tentang pelatihan yang telah dilaksanakan yaitu evaluasi tentang pengaruh pelatihan advertising dan desain grafis terhadap peningkatan mutu trainees.

  1. Contoh Struktur dan Jadwal Pelatihan

Pelatihan Advertising dan Desain Grafis PT Sentosa Riau

A. Tujuan:

Meningkatkan pemahaman tentang advertising dan desain grafis kepada karyawan baru sebagai peningkatan mutu karyawan.

B. Identifikasi

Diidentifikasi melalui assesmen pekerjaan (analisis pekerjaan) dengan menggunakan butir-butir pertimbangan, antara lain:

      1. Apakah karyawan baru tersebut mengerti tentang pembuatan iklan yang baik dalam penggunaan bahasa maupun gambar iklan?

      2. Apakah karyawan baru tersebut dapat menggunakan komputer, yang dalam hal ini merupakan media pembuatan iklan?

      3. Apakah karyawan baru tersebut memehami tentang desain grafis?

      4. Apakah karyawan baru tersebut bisa menggunakan corel draw dan photoshop?

      5. Dapatkah karyawan baru membentuk team work yang baik?

      6. Apakah karyawan baru beradaptasi dengan lingkungan perusahaan?

C. Sasaran pelatihan

Trainees dapat membuat iklan yang bermutu dengan menggunakan komputer dalam program desain grafis dan dapat menggunakan gambar dan bahasa iklan dengan baik yang dapat mempengaruhi masyarakat.

D. Kriteria keberhasilan dan alat ukurnya

    • Kriteria keberhasilan

Pada akhir pelatihan trainees dapat mengerti dan paham tentang advertising dan desain grafis serta dapat membuat iklan yang bermutu serta trainees dapat melalkuan pekerjaan membuat iklan dengan baik

    • Alat ukur

  1. Pre-test

Pada technical meeting diadakan wawancara untuk test pengetahuan dasar tentang advertising dan desain grafis.


  1. Post-test

Trainees diberi test lagi setelah pelatihan untuk melihat apakah ada perkembangan pengetahuan mereka tentang advertising dan desain grafis.

  1. Hasil iklan dengan gambar dan bahasa yang baik menggunakan desain grafis

E. Metode yang digunakan

Metode yang digunakan: kuliah, studi kasus, praktek dan out bond

F. Waktu dan tempat pelaksanaan

Rangkaian pelatihan dilaksanakan selama satu minggu tanggal 3-9 desember 2007

    • Senin-jumat : bertempat di perusahaan pada pukul 07.15-17.30

    • Sabtu-minggu: bertempat di Bukit Berbunga Kecamatan Kemuning

14.00 - 15.30 keesokan harinya.

G. Trainer terdiri dari 3 orang dan trainees 10 orang yang merupakan karyawan baru

H. Jadwal pelatihan:

Hari

Waktu

Tempat

Pelatihan

Senin

07.00-07.15

07.15-07.30



07.30-15.00





15.00-15.30

15.30-16.30






16.30-17.30

Ruang pertemuan

Ruang pertemuan



Ruangan desain advertising




Mushollah

Ruang rapat atau ruangan pertemuan





Ruang rapat atau ruangan pertemuan

Technical meeting sekaligus pre-test

Pemberian motivasi oleh direktur perusahaan, diharapkan trainees dapat mencontoh semangat yang dimiliki direktur sebagai model.

Pelatihan, yang mana bekerja membantu karyawan lama menyelesaikan tugas sebagai pelatihan langsung terjun kelapangan pembuatan iklan dengan mencontoh cara kerja karyawan lama sebagai model.

Ishoma

Kuliah dengan materi pemahaman advertising khususnya penggunaan bahasa iklan. Pemateri memberikan contoh-contoh iklan yang baik sebagai modeling simbolik baik berupa wacana maupun bahasa-bahasa yang baik dalam penulisan iklan.

Study kasus. Traineer memberikan study kasus tentang bahasa periklanan untuk dianalisis trainee

Selasa

07.15-07.30

07.30-15.00






15.00-15.30

15.30-16.30





16.30-17.15


07.15-07.30

Ruang pertemuan

Ruangan desain advertising





Mushollah

Ruang rapat atau ruangan pertemuan




Ruang rapat atau pertemuan

Ruang rapat atau ruang pertemuan

Pemberian motivasi oleh manajer.

Pelatihan yang mana bekerja membantu karyawan lama sebagai pelatihan terjun ke lapangan. Sekaligus belajar tentang materi yang telah diberikan yaitu penggunaan bahasa iklan dengan mencontoh karyawan yang telah berpengalaman.

Ishoma

Kuliah dengan materi penggunaan gambar yang baik dalam periklanan serta informasi iklan yang baik agar memepengaruhi orang banyak disertai contoh nyata seperti gambar-gambar iklan sebagai modeling simbolik

Study kasus. Traineer memberikan kasus-kasus tentang gambar iklan untuk dianalisis trainees

Pemutaran film tentang orang yang suskses membuat iklan yang baik agar dapat memnjadikan model para trinee agar dapat membuat iklan yang baik membuat

Rabu

07.15-07.30


07.30-15.00







15.00-15.30

15.30-17.30

Ruang pertemuan


Ruangan desain advertising






Musholla

Ruangan desain advertising


Pemberian motivasi kepala bagian desain grafis advertaising.

Pelatihan yang mana bekerja membantu karyawan lama sebagai pelatihan terjun ke lapangan. Sekaligus sambil belajar tentang materi yang telah diberikan yaitu tentang gambar-gambar iklan yang baik dengan mencontoh karyawan yang telah berpengalaman.

Ishoma

Pemberian materi tentang corel draw sekaligus praktik cara menggambar menggunakan corel draw. Pemateri sebagai model dalam memberikan contoh bagaimana cara menggunakan computer di program corel draw untuk menggambar.

Kamis

07.15-07.30


07.30-15.00





15.00-15.30

15.30-17.30


Ruang pertemuan


Ruangan desain adverstising




Musholla

Ruangan desain adverstising



Pemberian motivasi kepala seksi desain grafis advertising

Pelatihan yang mana bekerja membantu karyawan lama sebagai pelatihan terjun ke lapangan sekaligus belajar tentang materi yang telah diberikan yaitu corel draw dengan mencontoh karyawan yang berpengalaman.

Ishoma

Pemberian materi tentang materi photoshop sekaligus praktek cara menggambar menggunakan photo shop. Pemateri sebagai model dalam memberikan contoh bagaimana cara menggunakan komputer di program photoshop untuk menggambar.

Jumat

07.15-07.30


07.30-15.00





15.00-15.30

15.30-17.30

Ruang pertemuan


Ruangan desain adverstising




Musholla

Ruangan desain adverstising



Pemberian motivasi salah satu karyawan lama yang berprestasi.

Pelatihan yang mana bekerja membantu karyawan lama sebagai pelatihan terjun ke lapangan sekaligus belajar tentang materi yang telah diberikan yaitu photoshop dengan mencontoh karyawan lama

Ishoma

Menanyakan kembali kepada trainee tentang materi-materi pa saja yang belum dimengerti. Nantinya akan diulangi materi yang tidak dimengerti untuk dibahas kembali atau untuk praktek kembali. Pada akhir pemberian materi akan diadakan pemberian tugas membuat iklan yang harus dikumpulkan pada hari sabtu pada pukul 14.00. trainee boleh menggunakan komputer perusahaan..

Sabtu

14.00-14.30




14.30-15.30

15.30-18.00

18.00-21.00







21.00-22.00



2.00-02.00

Lapangan di depan perusahaan



Kendaraan

Bukit berbunga

Bukit berbunga











Bukit berbunga




Bukit berbunga

Pengumpulan tugas dan persiapan berangkat menuju bukit berbunga serta pembagian kelompok. Trainees dibagi menjadi 2 kelompok.

Perjalanan menuju bukit berbunga

Pembangunan tenda serta ishoma

Diadakan post-test untuk melihat kemampuan trainees.Tugas yang telah dikumpulkan dikembalikan kembali kepada pembuatnya masing-masing. Tugas-tugas tersebut nantinya dianalisis oleh seluruh anggota kelompok masing-masing. Dan dipilih tugas siapakah yang paling baik.

Acara bebas. Dalam acara ini adalah acara bebas untuk bersenang-senang melepas stress misalnya dengan bernyanyi bersama.

Tidur

Minggu

02.00-04.00









04.00-06.00

06.00-12.00








12.00-13.00



13.00-14.00




14.00-15.30


Bukit berbunga









Bukit berbunga

Bukit berbunga








Bukit berbunga



Bukit berbunga



Lapangan di depan perusahaan


Renungan malam sekaligus pemberian motivasi oleh direktur dan karyawan ahli dalan advertising, serta karyawan yang berprestasi. Para motivator tersebut menceritakan pengalaman mereka akan kesuksesan yang didapatkan. Orang-orang tersebut menjadi model karyawan baru untuk langkah mereka selanjutnya dalam bekerja di perusahaan advertising.

Shalat, mandi, sarapan, olahraga pagi.

Trainees diberi tugas untuk mempublikasikan iklan terbaik yang telah mereka buat dan dipilih yang terbaik pada tiap kelompok. Mempublikasikan iklan dengan cara membuat angket seberapa banyak orang yang suka dan terpengaruh atas iklan yang mereka buat. Angket tersebut diberikan pada pengunjung bukit berbunga tersebut.

Ishoma sekaligus penghitungan kelompok mana yang mendapat respon yang baik akan iklan mereka.

Pemberian penghargaan ke kelompok yang menang, yang mana diharapkan hal ini dijadikan pelajaran. Evaluasi pelatihan yang dilaksanakan, melihat hasil pelatihan.

Pulang. Penutupan pelatihan dan evaluasi, diharapkan setelah pelatihan mutu karyawan baru akan baik.


Daftar Pustaka

Alwisol. 2007. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.

As’ad, Moh., Drs. Psi. 1978. Psikologi Industri. Yokyakarta: Percetakan LIBERTY

Munandar, Ashar Sunyoto. 2006. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: UI Press